X1 / 13
SENI RUPA
SEJARAH SONGKOK
Pada tahun 30 Hijriyah atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah. Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi’i. Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab. Maka dari itu sejak dulu berdagang merupakan warisan turun-tumurun masyarakat GRESIK dalam memenuhi kehidupan sehari-hari
Anwar Ilyas, Miliarder Gresik Pemilik Usaha Songkok Merek Awing
Untung Semeriwing Songkok Awing
Songkok di tangan Anwar Ilyas bukan sekadar penutup kepala saat salat atau di acara keagamaan bagi umat Islam. Melainkan sumber fulus yang tidak ada habisnya. Berawal dari inovasi sederhana namun dikemas dengan manajemen profesional, kini Anwar mengantongi miliaran rupiah tiap bulan.
—
RUANGAN kantor pabrik songkok Awing di Jalan KH Kholil Gresik, Jawa Timur, kemarin siang (21/9) terasa begitu sesak. Sepuluh orang yang ada di dalamnya harus berdesakan dengan tumpukan kardus kain beludru yang baru datang. Sebuah etalase besar yang digunakan untuk memajang beragam varian contoh songkok dan ratusan songkok yang siap dipasarkan membuat ruang seluas 10 x 5 meter itu terasa semakin sempit.
Tiba-tiba suasana menjadi riuh ketika seorang pria yang seluruh rambutnya sudah memutih memasuki ruangan. Tanpa ada yang memerintah, seluruh orang tiba-tiba antre untuk bersalaman. Sosok yang begitu dihormati itu adalah Anwar Ilyas, sang pemilik pabrik.
Meski usianya sudah mencapai 63 tahun, tubuh Anwar kelihatan bugar. Dengan bersemangat dia menceritakan awal mula merintis usaha yang kini menjadi salah satu ikon Kabupaten Gresik itu. “Semua ini saya awali dengan niat iseng,” ujar Awing datar, namun cukup mengagetkan bagi yang baru mendengarnya. Anwar mengatakan saat masih muda sama sekali tidak berniat menekuni bisnis pembuatan songkok. Padahal, ayah dan kakaknya adalah produsen songkok cap Bintang yang cukup terkenal pada 1950-an.
Saat itu, Anwar sudah cukup puas dengan bisnis jasa penyewaan truk ekspedisi barang dengan bendera CV Jaya Sakti yang dirintisnya sejak 1974. Selain itu, Anwar sukses dengan usaha properti melalui bendera PT Bakti Pertiwi yang dirintisnya mulai 1978.
Tapi, takdir berkata lain. Berkat seorang teman, Anwar akhirnya menyadari bahwa sumber rezekinya ternyata tak bisa beralih dari bisnis keluarga, yakni mengelola pabrik songkok. Menurut Anwar, sejarah Awing dimulai pada 1986. Saat itu, dia punya teman yang sedang bingung mencari pekerjaan. Karena Anwar sudah lebih dahulu merintis usaha di bidang jasa ekspedisi barang dan developer perumahan, dia pun menawari temannya tadi untuk ikut mengembangkan dua usaha tersebut. ”Tapi, teman saya tadi tidak mau. Dia merasa tidak punya keahlian di sektor properti dan tidak bisa nyopir truk-truk ekspedisi saya,” tambahnya.
Akhirnya, karena di kampungnya banyak yang menjadi perajin songkok, Anwar menawari temannya tadi untuk ikut memulai bisnis songkok. ”Tapi, saya suruh dia untuk bikin produk yang lain daripada yang lain. Harus lebih bagus dari yang sudah ada,” terang ayah empat anak tersebut.
Setelah dua bulan dibiarkan melakukan eksperimen, ternyata temannya tadi berhasil membuat satu bentuk songkok spesial. Yakni, songkok tanpa kertas. ”Waktu itu, tidak ada satu pun songkok yang dibuat tanpa disertai kertas. Tapi, Awing berhasil menjadi penemu songkok tanpa kertas,” tambahnya.
Insting bisnis Anwar pun muncul. Karena terpikat dengan songkok buatan temannya tadi, Anwar mencoba untuk lebih serius menekuni bisnis tersebut. ”Saya masih ingat, modal awal yang saya kucurkan Rp 10 juta dan satu unit mobil Carry sebagai kendaraan operasional,” ujarnya. Selanjutnya, Anwar mulai menata manajemen dan sumber daya manusia untuk unit usaha barunya tersebut.
Hal pertama yang dia lakukan adalah mencari lokasi produksi. Anwar pun mengontrak sebuah rumah kecil di dekat rumahnya. ”Kecil kok. Paling luasnya hanya 4 x 6,” terangnya. Dengan empat orang pekerja awal, Anwar dan temannya tadi mampu memproduksi 120 unit songkok per hari.
Namun, persoalan muncul ketika songkok-songkok tersebut siap diedarkan. ”Teman saya tadi tanya, apa nama songkok ini?” kata Anwar. Karena temannya tadi yang memulai pertama, Anwar terpikir untuk menjadikan nama temannya itu sebagai merek songkok tersebut. Menurut Anwar, nama asli temannya itu sebenarnya bukan Awing. Tapi, karena wajahnya mirip orang Tiongkok, dia sering dipanggil dengan sebutan Awing. ”Sudah, kasih nama Awing saja. Lambangnya pakai gambar wajahmu,” kata Anwar kepada temannya waktu dulu. Karena itu, jangan heran jika di setiap kemasan songkok Awing sekarang, terpasang sketsa kepala manusia yang sedang memakai songkok. ”Ya, itulah wajah si Awing,” ungkap Anwar.
Setelah semua siap, Anwar menginstruksikan untuk mulai memasarkan songkok Awing hingga ke ujung timur Jawa, Banyuwangi. Sementara itu, untuk ke barat, tim pemasaran Awing sampai di Sumatera. ”Mulanya kami konvensional saja. Kami titipkan ke toko-toko di pasar. Beberapa waktu kemudian, kami datangi lagi untuk melihat hasilnya,” ujar Anwar.
Ternyata, respons masyarakat lumayan bagus. Meski harganya tergolong mahal, jumlah pesanan terus meningkat. Anwar membandingkan, saat itu harga songkok di pasaran pada umumnya Rp 3.000. Tapi, Awing berani mematok harga Rp 10 ribu. ”Mahal memang. Tapi, kami tidak main-main dengan kualitas. Seingat saya, waktu itu belum ada songkok tanpa kertas,” ujarnya.
Karena menilai prospeknya cukup cerah, Anwar kian serius mengembangkan Awing. Dua tahun setelah membuka usaha, jumlah pekerja Anwar bertambah menjadi 10 orang. Dia juga akhirnya membeli dua rumah di samping kontrakan awal tadi untuk kemudian dijadikan gudang dan lokasi produksi yang baru. Total produksi pun meningkat 100 persen lebih. Pada masa itulah, Awing mulai menancapkan namanya di dunia bisnis songkok Indonesia.
Ketika ditanya apa rintangan ketika awal-awal merintis usaha, Anwar mengaku tidak mengalami hambatan yang berarti. ”Rintangan pasti ada. Terutama cibiran dari pengusaha songkok lainnya yang mengejek produk songkok tanpa kertas. Juga harga yang kami tawarkan dinilai terlalu mahal. Tapi, toh kami bisa melaluinya dan bahkan orang-orang tadi balik memuji keberhasilan kami,” ujarnya.
Tidak hanya itu, Awing juga akhirnya menjadi trend setter produk songkok. Buntutnya, demi memenuhi pesanan yang makin melonjak, Awing mulai membuka kantor perwakilan di Jakarta dan Semarang. Selain itu, Awing mendirikan pusat distributor di Makassar dan Medan.
Kira-kira apa resep usahanya? ”Yang penting, ditata dulu manajemennya,” jawab Anwar. Produksi songkok-songkok tadi juga dilakukan dengan kualitas dan bahan yang asal-asalan. ”Bahan baku beludru Awing ini kami impor dari Amerika dan Korea lho,” kata Anwar.
Tak ayal, berkat ketekunan dan kerja kerasnya, kini Awing menjadi produsen songkok yang sangat besar. Dalam sebulan, Awing bisa menghasilkan kurang lebih 300 ribu unit songkok. Jumlah pekerjanya juga lumayan, yakni 300 orang. Belum lagi, Awing juga membina puluhan home industry songkok di sekitarnya.
”Bedanya dengan songkok lain, Awing selalu memproduksi setiap bulan. Sementara itu, industri songkok yang lain mungkin hanya ramai kalau mendekati puasa,” ujarnya. Karena itu, tak heran jika omzet yang diraih Awing rata-rata Rp 1 miliar per bulan. Bahkan, jumlah itu bisa meningkat hingga 400 persen selama empat bulan menjelang Ramadan.
Namun sayang, riwayat kerja sama Anwar dan seorang temannya tadi harus berakhir pada 2001. ”Karena ada suatu masalah keuangan, akhirnya Awing memilih mengundurkan diri dari perusahaan,” terang Anwar.Berkah Ramadhan bagi Perajin Songkok di Gresik
Bagi perajin songkok atau kopiah di Kabupaten Gresik, Jawa Timur, bulan suci Ramadhan merupakan masa "panen."
Salah satunya adalah perajin songkok rumahan "Awing" di Kelurahan Blandongan, Kecamatan Kota Gresik.
Bahkan, perajin setempat mendapatkan berkah (barokah/nilai tambah) sejak tiga bulan menjelang Ramadhan 1431 Hijriah.
Sejak tiga bulan lalu itu, 30 ribu songkok yang mereka produksi sudah ludes terjual atau sudah diambil pemesan.
"Pemesan songkok Awing lebih banyak dari Jawa Barat, karena 20 ribu dari 30 ribu songkok sudah beredar di Jawa Barat," ucap karyawan bagian penjualan produksi songkok Awing, Benny Wahidin.
Sebenarnya, tuturnya, produksi songkoknya beredar ke seluruh Indonesia dan bahkan ke luar negeri, seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
"Tetapi pasar kita terbanyak memang berada di Jawa Barat dan Jakarta," paparnya.
Bulan Ramadhan ini, Awing masih melakukan produksi hingga menjelang Hari Raya Idul Fitri 1431 H dengan target produksi 15 ribu songkok, sesuai dengan pesanan yang masuk.
"Sebelum Hari Raya, 15 ribu songkok ini harus sudah selesai dan langsung kita kirim. Karena untuk Lebaran ini, sebagian besar juga pesanan dari Jawa Barat, khsusnya Bandung dan sekitarnya," ujarnya
Awing menjual hasil produksinya dengan harga bervariasi, mulai harga termahal Rp115 ribu persongkok hingga paling murah Rp20 ribu.
"Memasuki Ramadhan tahun ini, Awing sudah mendapatkan omzet kurang lebih sekitar Rp4 miliar," ungkapnya.
Untuk hari-hari biasa, songkoknya hanya laku setengah dari penjualan saat memasuki Ramadhan seperti sekarang.
Koordinasikan perajin
Benny menceritakan, Awing berdiri tahun 1986. "Home industry" (industri rumahan) itu awalnya dirintis dengan mengkoordinasikan beberapa perajin songkok di Blandongan.
Sebelumnya, songkok yang dihasilkan perajin Blandongan itu memiliki kerangka dalam yang berbahan kertas, sehingga usia songkok menjadi tidak tahan lama.
Berangkat dari pengalaman itu, Awing berusaha berinovasi dengan menggunakan kerangka berbahan kain keras.
Kelebihan mengggunakan kerangka berbahan kain keras ini lebih nyaman dan enak penggunaannya.
Tapi, perajin di seluruh Indonesia dan tentunya juga di Blandongan tak berani meniru menggunakan kerangka berbahan kain keras, kala itu.
"Biayanya lebih mahal," jelas Benny.
Saat itu (1986), harga songkok yang menggunakan kerangka berbahan kertas Rp3 ribu, sedangkan dengan menggunakan bahan kain keras mencapai lima kali lipatnya, yakni Rp15 ribu.
Tapi, Awing tetap optimistis dan hasilnya tak seperti dugaan perajin songkok lainnya, songkok bikinan Awing direspons baik oleh konsumen.
Tak hanya bahan kerangka yang diinovasi Awing. Songkok bikinannya juga ditambahi kain jala pada sudut atas songkok, baik depan maupun belakangnya.
Ide ini berawal dari pengamatan sederhana, pada saat orang menggunakan songkok, umumnya berkeringat.
"Untuk memberikan kenyamanan pengguna songkok, Awing menambahkan kain jala. Ide kreatif ini belum digunakan oleh perajin songkok lainnya," tambahnya.
Songkok dengan tambahan kain jala itu awalnya diberi nama tipe AB (Angin mBrobos).
Karena dinilai kurang keren, lalu diubah menjadi tipe AC, dengan harapan memberikan kesejukan layaknya "air conditioner" (AC).
Songkok seharga Rp15 ribu bikinan Awing itu mampu menarik banyak konsumen. Dan, perajin lain pun membuntuti langkah Awing.
Perlahan-lahan Awing dikenal oleh banyak konsumen, dan perusahaan itu semakin mengembangkan sayapnya.
Hingga tahun 1992, Awing membuka cabang di Jakarta dan kewalahan menerima "order" (pesanan).
"Pada tahun-tahun itu, mantan Presiden RI Soeharto pun menggunakan songkok Awing, setiap tiga bulan sekali, ajudan Presiden memesannya langsung," tukasnya.
Dalam perkembangannya, orang menggunakan songkok tak hanya untuk beribadah, tapi juga untuk kepentingan-kepentingan formal.
"Setelah mantan Presiden Soeharto memesan songkok Awing, pejabat-pejabat lainnya pun ikut memesan," tandasnya
Awing mampu memproduksi sedikitnya 300 ribu songkok pertahunnya dengan omzet mencapai Rp7 miliar setahun.
Omzet ini naik berpuluh kali lipat jika dibandingkan dengan tahun 1992 yang hanya Rp200 juta persemester.
"Tipe yang menjadi favorit konsumen adalah tipe AC, dengan harga KW1 Rp110 ribu dan KW2 Rp75 ribu," ujarnya.
Untuk menjaga konsumen, Awing selalu melakukan inovasi dan menjaga kualitas. Bahan-bahannya pun dari produksi luar negeri. Kain keras dan bludru yang digunakan adalah produksi Amerika, kain satennya asal Korea, dan kain kasa dari Taiwan.
Dan, berkah pun dialami perajin songkok atau kopiah di Kabupaten Gresik, Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.